Acara Nikah dalam Budaya Aceh: Antara Syariat, Adat, dan Silaturahmi

Bagi masyarakat Aceh, pernikahan bukan sekadar peristiwa pribadi antara dua insan. Ia adalah pesta sakral yang memadukan syariat Islam dengan adat turun-temurun, menyatukan keluarga besar sekaligus mempererat silaturahmi antarwarga. Dari lamaran hingga pesta resepsi, setiap tahapan sarat dengan simbol, doa, dan kemeriahan yang menjadikan pernikahan Aceh begitu khas dan istimewa.

Tahap Pra-Nikah: Menyatukan Dua Keluarga

Prosesi dimulai dengan meukeurija, yaitu acara lamaran ketika pihak laki-laki mendatangi rumah calon mempelai perempuan. Sirih dan pinangan menjadi tanda penghormatan. Setelah itu digelar ba ranub — musyawarah keluarga besar untuk menetapkan mahar, tanggal pernikahan, hingga rincian pesta.

Di tahap ini, semua keputusan diambil secara mufakat, menekankan nilai musyawarah dalam adat Aceh. Sementara itu, pihak perempuan menyiapkan jak meulapeh, berupa perlengkapan rumah tangga dan kebutuhan pesta yang akan ditampilkan saat acara berlangsung.

Akad Nikah: Puncak Kesakralan

Akad nikah biasanya berlangsung di masjid atau di rumah mempelai perempuan. Sang linto baro (pengantin pria) duduk berhadapan dengan wali, disaksikan imam dan para tokoh agama. Ijab kabul yang singkat, padat, dan penuh makna menjadi detik paling ditunggu.

Mahar dalam tradisi Aceh bukan sekadar simbol ekonomi. Ia sering kali berupa emas, uang, atau sesuatu yang bernilai religius, seperti mushaf Al-Qur’an atau hafalan ayat-ayat suci. Begitu ijab kabul selesai, doa selamat dipanjatkan. Dari sinilah, status keduanya berubah: dari bujang dan dara menjadi suami-istri.

Khanduri: Resepsi Penuh Kemeriahan

Usai akad, tibalah momen yang paling ditunggu masyarakat: khanduri atau resepsi. Di sinilah kemeriahan adat Aceh terlihat jelas. Ratusan bahkan ribuan tamu berdatangan, disambut dengan hidangan khas seperti kuah beulangong — gulai daging sapi atau kambing dimasak dalam kuali besar dengan rempah pekat. Ada juga ayam tangkap, potongan ayam goreng renyah yang ditaburi daun pandan dan rempah aromatik. Kue tradisional seperti meuseukat, adee, hingga kue bhoi tersaji manis sebagai pelengkap.

Seni tradisi turut hadir menghidupkan suasana. Tabuhan rapa’i menggema, sementara tari seudati atau saman kadang ditampilkan untuk menyambut tamu. Semua ini bukan hanya hiburan, tetapi juga bentuk syukur dan penghormatan bagi para hadirin.

Simbol dan Adat yang Mengiringi

Selain pesta, pernikahan Aceh sarat dengan simbol dan prosesi adat:

Peusijuek
Ritual memercikkan beras, air suci, dan daun kepada pengantin, sebagai doa agar rumah tangga diberkahi, damai, dan jauh dari marabahaya.

Intat Linto
Prosesi mengantar pengantin pria ke rumah mempelai perempuan. Biasanya dilakukan dengan arak-arakan, musik tradisi, dan sambutan hangat dari pihak keluarga perempuan.

Seumapa
Tradisi saling berbalas pantun antara keluarga pengantin pria dan wanita. Pantun-pantun ini sering disampaikan dengan nada riang, penuh humor, namun tetap sarat nasihat.

Busana Pengantin
Dara baro (pengantin perempuan) dan linto baro tampil menawan dengan pakaian adat bercorak keemasan atau merah marun, lengkap dengan hiasan kepala (sigok untuk perempuan, meukeutop untuk laki-laki). Busana ini melambangkan kemuliaan, kebesaran, dan keceriaan.

Pasca Nikah: Menjalin Silaturahmi Lebih Luas

Tradisi Aceh tidak berhenti setelah resepsi. Ada prosesi jak keu uroe, di mana pengantin berkunjung ke rumah keluarga besar untuk memperkenalkan diri sebagai pasangan baru. Dalam kesempatan ini, keluarga dan kerabat memberikan peumuleung, berupa hadiah atau uang sebagai bekal awal membangun rumah tangga.

Tahapan-tahapan ini mempertegas bahwa pernikahan Aceh bukan hanya urusan dua orang atau dua keluarga, melainkan juga masyarakat luas yang ikut mendoakan dan mendukung.

Makna Filosofis di Balik Kemegahan

Di balik kemeriahan pesta dan gemerlap busana, pernikahan dalam budaya Aceh menyimpan pesan mendalam. Ia adalah bentuk ketaatan pada syariat Islam, sekaligus penghormatan pada adat leluhur. Setiap prosesi, dari lamaran hingga peusijuek, menegaskan pentingnya silaturahmi, gotong royong, dan keberkahan hidup bersama.

Bagi masyarakat Aceh, pernikahan adalah momentum yang meneguhkan jati diri: hidup beradat, beragama, dan bermasyarakat. Itulah sebabnya, hingga hari ini, prosesi nikah di Aceh tetap lestari, menjadi kebanggaan sekaligus warisan budaya yang terus dijaga lintas generasi.

Scroll to Top