Pelabuhan Bebas Sabang (Pelbas) merupakan salah satu proyek strategis nasional yang memberikan dampak signifikan terhadap dinamika ekonomi dan sosial di Aceh. Sejak ditetapkan sebagai pelabuhan bebas, Sabang berkembang menjadi pusat perdagangan internasional dengan arus barang yang tinggi. Masyarakat Aceh pada masa itu dapat mengakses berbagai produk modern yang bahkan belum populer di Jakarta, menjadikan Sabang simbol keterhubungan Aceh dengan dunia global.

Namun, kebijakan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto mengakhiri era keemasan tersebut. Penutupan Pelbas Sabang tidak hanya mengubah struktur ekonomi Aceh, tetapi juga menimbulkan konsekuensi politik yang luas, termasuk lahirnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah pusat.
Penutupan Pelabuhan Bebas dan Kasus Hukum Walikota Sabang
Salah satu aspek kontroversial dari penutupan Pelbas adalah kasus hukum yang menimpa Walikota Sabang kala itu, almarhum M. Yusuf Walad, MBA. Beliau divonis hukuman lebih dari 14 tahun penjara dengan tuduhan korupsi anggaran dan iuran Pemkot Sabang.
Banyak kalangan menilai, kasus tersebut merupakan bentuk politisasi hukum. Yusuf Walad dijadikan “tumbal” agar pemerintah pusat memiliki legitimasi moral untuk menutup Pelbas. Dalam perspektif politik hukum, praktik semacam ini mencerminkan bagaimana Orde Baru menggunakan instrumen hukum sebagai alat kekuasaan (law as a tool of power), bukan sebagai sarana keadilan.
Implikasi Sosial dan Politik
Penutupan Pelbas membawa dampak luas bagi masyarakat Aceh. Secara ekonomi, akses terhadap perdagangan internasional terhenti. Secara sosial, masyarakat kehilangan simbol kemajuan yang sebelumnya menjadi kebanggaan daerah.
Lebih jauh lagi, tindakan represif dan rekayasa politik semacam ini menimbulkan rasa ketidakadilan yang akut. Pemerintah pusat dianggap tidak hanya menutup peluang ekonomi, tetapi juga mengorbankan tokoh lokal demi kepentingan politik. Rasa ketidakadilan inilah yang kemudian memperkuat narasi perlawanan terhadap rezim Orde Baru.
Konteks Kemunculan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Dalam kerangka sejarah politik Aceh, penutupan Pelbas Sabang menjadi salah satu faktor yang mempertebal jurang antara Aceh dan Jakarta. Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang muncul pada pertengahan 1970-an, menemukan momentumnya dalam akumulasi ketidakpuasan rakyat.
Penutupan Pelbas Sabang dapat dilihat sebagai salah satu bukti konkret bagaimana pemerintah pusat mengabaikan aspirasi Aceh. Kebijakan tersebut bukan hanya ekonomi semata, tetapi juga bentuk marginalisasi politik yang mendorong tumbuhnya perlawanan bersenjata.
Kesimpulan
Penutupan Pelabuhan Bebas Sabang oleh rezim Orde Baru merupakan peristiwa penting dalam sejarah politik Aceh. Kasus yang menimpa Walikota Sabang, Yusuf Walad, memperlihatkan bagaimana kekuasaan dapat menggunakan hukum untuk membungkam, sekaligus menutup ruang ekonomi rakyat.
Dampak dari kebijakan ini tidak berhenti pada kerugian ekonomi, tetapi berlanjut pada lahirnya ketidakpercayaan mendalam terhadap pemerintah pusat. Dalam perspektif sejarah, peristiwa ini menjadi bagian dari mata rantai panjang konflik Aceh yang berpuncak pada perlawanan GAM terhadap rezim Orde Baru.
Iskandar Bakri -Aceh Business Network