Peringatan 20 Tahun MoU Helsinki: Refleksi Dua Dekade Perdamaian di Aceh, Indonesia
Pada 15 Agustus 2025, Aceh, Indonesia, memperingati 20 tahun Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, sebuah perjanjian perdamaian bersejarah yang mengakhiri hampir tiga dekade konflik bersenjata antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005, MoU ini tetap menjadi simbol harapan, menunjukkan bagaimana dialog, kompromi, dan kemauan politik yang kuat dapat menyelesaikan konflik yang berkepanjangan. Saat Aceh merayakan tonggak sejarah ini, inilah saat yang tepat untuk meninjau kembali asal-usul perjanjian, dampaknya, dan tantangan yang masih ada dalam menjaga perdamaian.
Jalan Menuju Helsinki: Aceh yang Dilanda Konflik
Aceh, provinsi paling barat Indonesia, terlibat dalam konflik sejak 1976, ketika GAM, yang dipimpin oleh Hasan Tiro, memulai perjuangan untuk kemerdekaan. Berakar pada keluhan historis, termasuk perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan ketidakpuasan terhadap pemerintahan terpusat di bawah negara kesatuan Indonesia, pemberontakan ini bertujuan mendirikan Aceh sebagai negara berdaulat. Konflik yang ditandai dengan operasi militer brutal dan taktik kontra-pemberontakan menewaskan lebih dari 50.000 jiwa dan mengungsikan ribuan lainnya.
Upaya perdamaian sebelumnya, seperti Jeda Kemanusiaan 2000 dan Perjanjian Penghentian Permusuhan (COHA) 2002, gagal karena kurangnya kepercayaan dan posisi yang tidak dapat didamaikan mengenai status politik Aceh. Pemerintah Indonesia bertekad mempertahankan persatuan nasional, sementara GAM kukuh mengejar kemerdekaan. Pada 2003, darurat militer diberlakukan, dan Aceh tampaknya ditakdirkan untuk terus bergejolak.
Tsunami Samudra Hindia yang menghancurkan pada 26 Desember 2004, yang menewaskan sekitar 170.000 orang di Aceh dan menyebabkan kerusakan senilai $4,5 miliar, menjadi titik balik. Skala bencana ini memerlukan bantuan kemanusiaan internasional dan menciptakan kebutuhan mendesak akan stabilitas untuk memfasilitasi rekonstruksi. Bencana ini, ditambah dengan kelelahan bertempur di pihak GAM dan kepemimpinan baru Indonesia di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, membuka jalan bagi perundingan perdamaian baru.
MoU Helsinki: Pendekatan Baru untuk Perdamaian
Difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, perundingan perdamaian Helsinki dimulai pada Januari 2005. Berbeda dengan perjanjian sebelumnya yang memprioritaskan gencatan senjata tanpa menyelesaikan isu politik inti, Ahtisaari mengadopsi pendekatan “tidak ada yang disepakati sampai semuanya disepakati”. Ini mengharuskan kedua pihak menyepakati kerangka politik sebelum menangani pengaturan keamanan, memaksa GAM dan Pemerintah Indonesia untuk menghadapi perbedaan mereka secara langsung.
Momen penting terjadi pada Februari 2005 ketika GAM mengumumkan akan mengesampingkan tuntutan kemerdekaan dan menerima “pemerintahan sendiri” dalam kerangka Indonesia. Kompromi bersejarah ini, didorong oleh pengakuan pragmatis atas kemunduran militer dan dampak tsunami, membuka jalan bagi kemajuan. Sebagai imbalannya, Pemerintah Indonesia memberikan konsesi penting, terutama mengizinkan partai politik lokal di Aceh—sebuah langkah signifikan yang menyimpang dari kebijakan nasional. Setelah lima putaran negosiasi intens, MoU ditandatangani pada 15 Agustus 2005 oleh Menteri Hukum dan HAM Indonesia Hamid Awaluddin dan pemimpin GAM Malik Mahmud Al-Haythar.
MoU menguraikan kerangka komprehensif untuk perdamaian, mencakup:
- Pemerintahan: Aceh diberikan otonomi khusus, diformalkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) 2006, yang memungkinkan partai politik lokal dan kontrol lebih besar atas urusan daerah.
- Keamanan: GAM setuju untuk membubarkan sayap bersenjatanya, Tentara Nasional Aceh (TNA), dan menyerahkan 840 senjata, sementara Indonesia berkomitmen menarik pasukan militer dan polisi non-organik, mengurangi kehadiran mereka menjadi 14.700 tentara dan 9.100 polisi pada akhir tahun.
- Hak Asasi Manusia: Perjanjian mewajibkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menangani pelanggaran masa lalu.
- Amnesti dan Reintegrasi: Tahanan politik akan dibebaskan, dan anggota GAM diintegrasikan kembali ke masyarakat dengan dukungan ekonomi.
- Pemantauan: Misi Pemantauan Aceh (AMM), yang dipimpin oleh Uni Eropa dan negara-negara ASEAN, mengawasi pelaksanaan, memastikan kepatuhan terhadap komitmen keamanan.
Pencapaian: Dua Dekade yang Transformatif
MoU Helsinki dipuji sebagai model penyelesaian konflik dalam negara. Keberhasilan langsungnya terlihat dari pelucutan senjata GAM yang cepat, dengan 840 senjata diserahkan dan dimusnahkan pada Desember 2005, serta penarikan 31.681 pasukan keamanan non-organik Indonesia. Pengawasan AMM, melalui mekanisme seperti Komisi Pengaturan Keamanan (COSA), memastikan transparansi dan menyelesaikan sengketa secara efisien, mencegah kembalinya kekerasan.
Secara politik, MoU mengubah lanskap Aceh. Pembentukan partai politik lokal memungkinkan mantan anggota GAM, seperti Irwandi Yusuf, untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi, dengan banyak yang terpilih ke posisi kunci. UUPA 2006 memberikan Aceh otonomi signifikan, termasuk kontrol atas pemerintahan lokal, pembagian pendapatan dari sumber daya alam, dan hak untuk menerapkan hukum Syariah, mencerminkan identitas budaya provinsi.
Dividen perdamaian sangat besar. Rekonstruksi Aceh pasca-tsunami, didukung oleh bantuan internasional, termasuk lebih dari €50 juta dari Uni Eropa, merevitalisasi infrastruktur dan mendorong pembangunan sosial-ekonomi. Sumber daya alam provinsi yang melimpah, terutama dalam Ekosistem Leuser, telah dimanfaatkan untuk pembangunan berkelanjutan, meskipun tantangan masih ada.
Tantangan: Pekerjaan yang Belum Selesai
Meskipun sukses, pelaksanaan MoU menghadapi tantangan yang berkelanjutan. Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diamanatkan oleh perjanjian belum dibentuk, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR Aceh), yang dibentuk pada 2016, lambat dalam memberikan keadilan bagi korban konflik. Laporan menyoroti impunitas yang terus berlanjut atas pelanggaran HAM masa lalu, memicu frustrasi di kalangan penyintas.
Ketimpangan ekonomi tetap menjadi perhatian. Meskipun stabilitas keamanan dan politik telah meningkat, manfaat ekonomi belum terdistribusi merata, dan isu seperti korupsi serta kapasitas pemerintahan yang terbatas menghambat realisasi penuh dividen perdamaian.
Ambiguitas dalam bahasa MoU juga menyebabkan interpretasi yang berbeda. Anggota GAM memandang perjanjian ini sebagai pemberian otonomi yang luas, sementara beberapa pejabat Indonesia melihatnya sebagai perluasan sederhana dari Undang-Undang Otonomi Khusus 2001. Perbedaan ini, ditambah dengan resistensi dari anggota parlemen nasional terhadap beberapa ketentuan, menimbulkan risiko bagi stabilitas jangka panjang.
Sengketa wilayah baru-baru ini, seperti kontroversi 2025 atas empat pulau yang diklaim oleh Aceh dan Sumatra Utara, menggarisbawahi perlunya dialog yang berkelanjutan. Referensi Pemerintah Indonesia terhadap MoU dan undang-undang 1956 tentang otonomi Aceh menegaskan relevansi perjanjian ini dalam menyelesaikan isu-isu tersebut.
Menatap Masa Depan: Menjaga Perdamaian
Saat Aceh memperingati 20 tahun MoU Helsinki, provinsi ini menjadi bukti kekuatan negosiasi dan kompromi. Keberhasilan perjanjian ini terletak pada kemampuannya menyeimbangkan kebutuhan keamanan mendesak dengan reformasi politik dan ekonomi jangka panjang. Namun, menjaga perdamaian ini memerlukan penyelesaian isu-isu yang belum terselesaikan, terutama dalam hak asasi manusia dan kesetaraan ekonomi.
Komunitas internasional, termasuk Uni Eropa, tetap berkomitmen mendukung pembangunan Aceh, menekankan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan dan perlindungan hak minoritas dalam kerangka hukum Syariah. Masyarakat sipil terus mengadvokasi pelaksanaan penuh MoU, mendesak Pemerintah Indonesia untuk membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia dan menindaklanjuti temuan KKR Aceh.
Warisan MoU Helsinki adalah ketahanan dan harapan. Ini menjadi inspirasi bagi penyelesaian konflik di seluruh dunia, dari Perjanjian Bangsamoro di Filipina hingga Perjanjian Good Friday di Irlandia Utara. Saat Aceh melangkah maju, pelajaran dari Helsinki—dialog, pragmatisme, dan inklusivitas—akan memandu jalannya menuju masa depan yang damai dan sejahtera.