25 Tahun BPKS Sabang, Apa Untungnya untuk Aceh?

Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) sudah hadir lebih dari 25 tahun. Tujuan awalnya adalah menjadikan Sabang sebagai motor pertumbuhan ekonomi Aceh, pusat perdagangan bebas, dan pintu gerbang ekspor-impor. Namun, hingga hari ini, masyarakat Aceh masih bertanya: Apa yang sebenarnya sudah kita dapatkan dari BPKS?

Masalah Fundamentalis: Status Aset dan Regulasi

Kelemahan utama BPKS adalah status aset. Hingga kini, seluruh aset Sabang masih tercatat sebagai Barang Milik Negara (BMN) di Kementerian Keuangan. Artinya, Aceh tidak memiliki kontrol penuh. Tanpa kepastian kepemilikan, investor enggan masuk. Mereka takut terkendala birokrasi dan aturan yang berubah sewaktu-waktu.

Selain itu, kawasan ini tidak dikategorikan sebagai Kawasan Industri dalam arti sebenarnya. Akibatnya, izin-izin strategis yang dibutuhkan investor global tidak bisa diberikan langsung oleh Aceh. Impor-ekspor pun terhambat karena prosedurnya tetap dikendalikan pusat.

25 Tahun Tanpa Dampak Signifikan

Dalam rentang seperempat abad, masyarakat Aceh belum melihat hasil yang nyata dari BPKS. Perekonomian lokal Sabang tetap stagnan, pelabuhan tak berfungsi optimal, dan industri belum tumbuh. Situasi ini mirip dengan proyek kereta api Kutablang–Lhokseumawe yang lebih menyerupai “odong-odong” ketimbang infrastruktur modern yang menjawab kebutuhan logistik.

Ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah BPKS hadir untuk memajukan Aceh, atau sekadar simbol kebijakan tanpa implementasi nyata?

Jika Pemerintah Pusat Ikhlas, Aceh Sudah Maju

Sejak lama, masyarakat Aceh percaya bahwa jika pemerintah pusat benar-benar ikhlas ingin memajukan Aceh, maka kemajuan itu sudah bisa kita lihat sejak dulu. Tapi realitasnya, setiap kebijakan selalu diikat dengan regulasi yang justru membatasi ruang gerak Aceh.

MoU Helsinki sudah menegaskan kewenangan Aceh dalam mengelola pelabuhan, bandara, dan perdagangan internasional. Sayangnya, kewenangan itu belum sepenuhnya dijalankan.

Solusi Konkret untuk Membuka Jalan

Untuk keluar dari kebuntuan ini, ada beberapa langkah strategis yang perlu diambil:

(a) Pisahkan status aset BPKS dari BMN – Aset Sabang harus menjadi milik Pemerintah Aceh agar bisa dikelola dengan fleksibel.

(b) Tetapkan Sabang sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industri & Perdagangan Bebas – bukan sekadar kawasan wisata. Dengan status ini, investor bisa mendapatkan insentif fiskal dan kepastian hukum.

(c) Beri kewenangan penuh pada Aceh dalam hal ekspor-impor – termasuk pengelolaan bea cukai, sebagaimana dijanjikan dalam MoU Helsinki.

(d) Bangun konektivitas modern – pelabuhan dalam-dalam (deep sea port), logistik maritim, dan koneksi langsung ke pasar internasional

(e) Libatkan pengusaha lokal Aceh – jangan hanya jadi penonton, tapi pemain utama dalam investasi.

Pelabuhan BPKS Sabang di tahun 2040?

BPKS bukan hanya persoalan Sabang. Ia adalah cermin bagaimana Aceh diperlakukan oleh pusat. Jika kita ingin Aceh benar-benar maju, maka pemerintah pusat harus memberikan kepercayaan penuh, kewenangan nyata, dan aset yang sah kepada Aceh.

Tanpa itu, BPKS hanya akan menjadi proyek “hiasan” tanpa manfaat, sama halnya seperti rel kereta api yang hanya jadi “odong-odong”.

Penulis Iskandar Bakri – Chair Aceh Business Working Group

Scroll to Top