Dr. Scott Guggenheim mantan Penasehat Presiden Afghanistan: “Aceh Jadi Contoh Dunia dalam Membangun Perdamaian Pasca-Konflik”

Banda Aceh 14 Agustus 2025 – Dr. Scott Guggenheim Antropolog Pembangunan – Georgetown University memaparkan presentasi bertajuk “Building Peace in Post-Conflict Aceh: Are There Global Lessons? Afghanistan and Aceh Compared” dalam International Discussion yang digelar di Banda Aceh, Kamis (14/8/2025). Kegiatan ini merupakan bagian dari International Conference on the 20th Year MoU Helsinki: “Progress and Challenges” yang berlangsung di Hermes Palace Hotel.

Scott Guggenheim Antropolog Pembangunan @  Georgetown University; Mantan penasehat presiden Afghanistan. Pernah betugas di Aceh di masa konflik dan paska Tsunami untuk The  World Bank

Konferensi ini dihadiri ratusan tokoh Aceh, akademisi, dan diplomat dari 12 negara. Para peserta membahas capaian perdamaian serta berbagai hak Aceh yang tercantum dalam MoU Helsinki namun belum sepenuhnya terealisasi. Dua panel diskusi menghadirkan mantan negosiator GAM, perwakilan Crisis Management Initiative (CMI), duta besar, akademisi, dan lembaga internasional seperti Bank Dunia.

Dalam presentasinya, Prof. Guggenheim yang juga mantan staff World Bank merangkum pengalaman Aceh pasca-konflik menjadi lima pelajaran utama yang dinilai relevan untuk pembelajaran global:

1. Elite Bargains untuk Stabilitas

Integrasi mantan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke dalam struktur elite politik Aceh mengalihkan konflik bersenjata menjadi kompetisi politik damai. Keutuhan kepemimpinan GAM yang tetap dipertahankan membantu menjaga keberlangsungan perjanjian damai.

2. Penegakan Perjanjian Damai

Pemerintah Indonesia membangun kredibilitas melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) serta pendekatan negosiasi Presiden SBY. Kehadiran internasional yang besar pasca-konflik tetap diimbangi dengan mekanisme nasional yang tegas dalam menerapkan aturan bersama dan memastikan transparansi penggunaan dana.

3. Pemerintahan yang Terbuka dan Efektif

Pemerintah tetap memegang kendali proses perdamaian, namun dengan cara yang inklusif dan transparan sehingga dapat diterima semua pihak.

4. Pendekatan Perdamaian dari Atas ke Bawah

Aceh pasca-2004 membuka ruang bagi seluruh elemen masyarakat – mulai dari kelompok perempuan, LSM, mahasiswa, media lokal, hingga seniman – untuk ikut berperan dalam proses perdamaian. Manfaat rekonstruksi pun diperluas tidak hanya bagi eks-kombatan, tetapi juga masyarakat luas.

5. Kerangka Waktu Fiskal Jangka Panjang

Bantuan internasional dan program pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur dan komunitas. Saat bantuan internasional berkurang, dana pemerintah pusat mengambil alih untuk mencegah penurunan drastis, meski Aceh masih menghadapi tantangan besar seperti pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan.

Perbandingan antara Aceh dan Afghanistan yang turut dipaparkan menegaskan bahwa keberhasilan perdamaian Aceh sangat dipengaruhi oleh kombinasi faktor politik, dukungan internasional, dan tata kelola yang transparan. Model ini dinilai layak menjadi rujukan global, terutama bagi wilayah yang sedang mencari jalan keluar dari konflik berkepanjangan.

Scroll to Top